
Jika malam selalu dikaitkan dengan romantika cinta, maka tidak begitu dengan malam yang dicipta Leila, sastrawan perempuan dan juga wartawan yang tak lagi asing di telinga para penikmat sastra.
Sebelum diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), kumpulan cerpen ini telah lebih dulu diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 1989 sebelum sang penulis memutuskan untuk menjadi wartawan majalah Tempo.
Dua dekade kemudian, berkat paksaan dan dukungan dari puterinya, Rain Chudori-Soerjoatmodjo yang juga seorang penulis di tahun 2009 Leila mantap menerbitkan kembali “Malam Terakhir” bersamaan dengan lahirnya “9 dari Nadira”.
“Malam Terakhir” versi baru merupakan hasil pilihan penulis dari versi sebelumnya yang dirasa masih mewakili ia dan zamannya. Dengan gaya sederhana ia mencoba menghadirkan kompleksitas cerita. Menceritakan tentang sembilan kisah tokoh. Dengan gaya pelurunya Leila mampu membidik kesadaran pembaca akan ironi negeri ini.
Sembilan tokoh yang mencoba memberontak agar terbebas dari tekanan dalam hidupnya itu terekam dalam beberapa cerita di buku ini. Cerpen dengan judul “Untuk Bapak dan Malam Terakhir” misalnya, ia menceritakan tentang banyaknya kebenaran yang sengaja di sembunyikan. Dan sialnya keadaan itu merupakan skenario yang telah dicipta oleh petinggi negara.
“…Di tengah hiruk pikuk hidup ini, Bapak Hakim, hampir semua orang menganggap menipu adalah salah satu kebudayaan yang dapat membuat mereka maju. Menipu menjadi suatu perjuangan hidup. Karena itu mereka mengesahkannya menjadi suatu cara untuk pintar, menang, dan berbahagia….” (hlm. 62)
Membaca Leila seperti membaca tentang sejarah dan ironi sosial yang pernah ada.
Karena sifat dramatisasi yang di ada dalamnya, meyakini sastra sebagai suatu kebenaran akan sebuah peristiwa adalah hal yang keliru. Namun kekuatan bahasa yang dimiliki oleh Leila S Chudori mampu menjungkirbalikkan logika, mana yang dunia fantasi dan mana yang dunia kenyataan.
Pada cerpen Malam Terakhir misalnya. Leila menceritakan kisah tentang ultimatum sorang aktivis mahasiswa yang menjadi korban praduga pemerintah, malam sebelum ia dan temannya dieksekusi. Aktivis-aktivis pembela kebenaran sebata “ulat” dalam pandangan pemerintah: kecil dan hanya bisa menggeliat. Tanpa disadari, biar sudah mati sekali pun kebenaran akan terus mencuat meski aneka skenario pemerintah mencegat.
“Ulat-ulat kecil…,” kata si Kurus tiba-tiba, “akan hancur diinjak sepatu bergerigi itu. Tapi, ulat kecil itu akan akrab berdekapan dengan tanah. Dan mereka akan menyuburkan bumi ini dengan udara kebenaran.” (hlm. 111)
Banyak ironi sosial yang dikisahkan dalam sembilan cerpen yang ada dalam buku ini; Paris Juni 1988, Adila, Air Suci Sita, Sehelai Pakaian Hitam, Untuk Bapak, Keats, Ilona, Sepasang Mata Menatap Rain, dan cerpen terakhir dengan judul Malam Terakhir sebagai penutup.
Sayangnya tidak ada penyelesaian dari konflik yang disuguhkan di semua cerpen. Namun disisi lain keadaan ini juga mampu menjadi bahan introspeksi bagi para pembaca. Sudah sejauh mana kita peka pada sekitar? Sudahkah kita berlaku benar yang sebenar-benarnya benar?
Selain menyimak sejarah dan permasalahan sosial bersama “Malam Terakhir”, pembaca akan diajak melanglang buana menyelisik persoalan-persoalan klise dalam lingkup keluarga yang seringkali terabaikan. Seperti dampak parenting dari orang tua–terutama ibu–yang mementingkan karir dan menganggap materi sudah lebih dari cukup untuk membahagiakan anaknya; orang tua yang memilihkan jodoh anaknya atas dasar “kebaikan” tanpa mengacuhkan “kebenaran”; orang tua yang terbiasa memberi sekat antara ia dan anak; serta orang tua yang menganggap apapun yang dikatakan anak tidak memiliki bobot untuk didengar dan diperhatikan, apalagi dipahami.
Leila berhasil mengemas dan menyajikan persoalan ruwet menjadi ringan dibaca.
Membaca “Malam Terakhir” sama dengan membuka mata hati pada banyak masalah yang tertutup oleh kepentingan pribadi.