• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
Sabtu, 1 April 2023
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Cerita Dari Orang-Orang Yang Menggugat

Membaca “Malam Terakhir” sama dengan membuka mata hati pada banyak masalah yang tertutup oleh kepentingan pribadi

Redaksi SKM Amanat by Redaksi SKM Amanat
3 tahun ago
in Rak
0

 

Buku Malam Terakhir (Instagram/ruangtitikkoma)

Jika malam selalu dikaitkan dengan romantika cinta, maka tidak begitu dengan malam yang dicipta Leila, sastrawan perempuan dan juga wartawan yang tak lagi asing di telinga para penikmat sastra.

Sebelum diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), kumpulan cerpen ini telah lebih dulu diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 1989 sebelum sang penulis memutuskan untuk menjadi wartawan majalah Tempo.

Dua dekade kemudian, berkat paksaan dan dukungan dari puterinya, Rain Chudori-Soerjoatmodjo yang juga seorang penulis di tahun 2009 Leila mantap menerbitkan kembali “Malam Terakhir” bersamaan dengan lahirnya “9 dari Nadira”.

“Malam Terakhir” versi baru merupakan hasil pilihan penulis dari versi sebelumnya yang dirasa masih mewakili ia dan zamannya. Dengan gaya sederhana ia mencoba menghadirkan kompleksitas cerita. Menceritakan tentang sembilan kisah tokoh. Dengan gaya pelurunya Leila mampu membidik kesadaran pembaca akan ironi negeri ini.

Baca juga

Paradoks Institusi Pendidikan

Fenomena “Hijrah” Narsistik vs Beragama secara Sederhana

Bukan Pasarmalam; Potret Pejuang yang Dilupakan oleh Masyarakat dan Sejarah

Sembilan tokoh yang mencoba memberontak agar terbebas dari tekanan dalam hidupnya itu terekam dalam beberapa cerita di buku ini. Cerpen dengan judul “Untuk Bapak dan Malam Terakhir” misalnya, ia menceritakan tentang banyaknya kebenaran yang sengaja di sembunyikan. Dan sialnya keadaan itu merupakan skenario yang telah dicipta oleh petinggi negara.

“…Di tengah hiruk pikuk hidup ini, Bapak Hakim, hampir semua orang menganggap menipu adalah salah satu kebudayaan yang dapat membuat mereka maju. Menipu menjadi suatu perjuangan hidup. Karena itu mereka mengesahkannya menjadi suatu cara untuk pintar, menang, dan berbahagia….” (hlm. 62)

Membaca Leila seperti membaca tentang sejarah dan ironi sosial yang pernah ada.
Karena sifat dramatisasi yang di ada dalamnya, meyakini sastra sebagai suatu kebenaran akan sebuah peristiwa adalah hal yang keliru. Namun kekuatan bahasa yang dimiliki oleh Leila S Chudori mampu menjungkirbalikkan logika, mana yang dunia fantasi dan mana yang dunia kenyataan.

Pada cerpen Malam Terakhir misalnya. Leila menceritakan kisah tentang ultimatum sorang aktivis mahasiswa yang menjadi korban praduga pemerintah, malam sebelum ia dan temannya dieksekusi. Aktivis-aktivis pembela kebenaran sebata “ulat” dalam pandangan pemerintah: kecil dan hanya bisa menggeliat. Tanpa disadari, biar sudah mati sekali pun kebenaran akan terus mencuat meski aneka skenario pemerintah mencegat.

“Ulat-ulat kecil…,” kata si Kurus tiba-tiba, “akan hancur diinjak sepatu bergerigi itu. Tapi, ulat kecil itu akan akrab berdekapan dengan tanah. Dan mereka akan menyuburkan bumi ini dengan udara kebenaran.” (hlm. 111)

Banyak ironi sosial yang dikisahkan dalam sembilan cerpen yang ada dalam buku ini; Paris Juni 1988, Adila, Air Suci Sita, Sehelai Pakaian Hitam, Untuk Bapak, Keats, Ilona, Sepasang Mata Menatap Rain, dan cerpen terakhir dengan judul Malam Terakhir sebagai penutup.

Sayangnya tidak ada penyelesaian dari konflik yang disuguhkan di semua cerpen. Namun disisi lain keadaan ini juga mampu menjadi bahan introspeksi bagi para pembaca. Sudah sejauh mana kita peka pada sekitar? Sudahkah kita berlaku benar yang sebenar-benarnya benar?

Selain menyimak sejarah dan permasalahan sosial bersama “Malam Terakhir”, pembaca akan diajak melanglang buana menyelisik persoalan-persoalan klise dalam lingkup keluarga yang seringkali terabaikan. Seperti dampak parenting dari orang tua–terutama ibu–yang mementingkan karir dan menganggap materi sudah lebih dari cukup untuk membahagiakan anaknya; orang tua yang memilihkan jodoh anaknya atas dasar “kebaikan” tanpa mengacuhkan “kebenaran”; orang tua yang terbiasa memberi sekat antara ia dan anak; serta orang tua yang menganggap apapun yang dikatakan anak tidak memiliki bobot untuk didengar dan diperhatikan, apalagi dipahami.

Leila berhasil mengemas dan menyajikan persoalan ruwet menjadi ringan dibaca.

Membaca “Malam Terakhir” sama dengan membuka mata hati pada banyak masalah yang tertutup oleh kepentingan pribadi.

 

  • 1share
  • 0
  • 1
  • 0
  • 0
Tags: 9 dari nadiraleila s chudorimalam terakhirreview buku malam terakhir
Previous Post

Kemenpora Ajak Aktivis UIN Walisongo Siap Hadapi Revolusi Industri 4.0

Next Post

Saat Mengunjungi Jogja, Ini 8 Tempat Wisata yang Bisa Kamu Kunjungi

Redaksi SKM Amanat

Redaksi SKM Amanat

Surat Kabar Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Untuk mahasiswa dengan penalaran dan takwa.

Related Posts

Sekolah Dibubarkan Saja!
Rak

Paradoks Institusi Pendidikan

by Rizkyana Maghfiroh
3 November 2022
0

...

Read more
Hijrah kalis

Fenomena “Hijrah” Narsistik vs Beragama secara Sederhana

13 Oktober 2022
Bukan Pasarmalam Pramoedya Ananta Toer

Bukan Pasarmalam; Potret Pejuang yang Dilupakan oleh Masyarakat dan Sejarah

29 September 2022
Resensi buku mereka bilang saya monyet djenar maesa ayu

[Resensi Buku] Imajinasi Tak Selalu Lebih Indah dari Realita

14 Juli 2022
Buku Pulang karya Leila S. Chudori (Sumber foto: efisus.wordpress.com)

[Resensi Buku] Kerinduan para Burung Camar untuk Pulang

18 Oktober 2021

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
Jalan sehat Dies Natalis ke-53 UIN Walisongo

Meriahkan Dies Natalis ke-53, UIN Walisongo Selenggarakan Jalan Sehat dengan Rute Pendek

3 Maret 2023
GenBI UIN Walisongo

Bantu 20 Pelaku Usaha, GenBI UIN Walisongo Adakan UMKM Binaan

12 Maret 2023
Tarbiyah Expo, UIN Walisongo

FITK UIN Walisongo Kembali Adakan Tarbiyah Expo dan Festival Pendidikan Islam

21 Maret 2023
Fredy Santoso, Investor Gathering UIN Walisongo

Fredy Santoso Bahas Indikator Ekonomi di Indonesia

13 Maret 2023
Load More
Amanat.id

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Ikuti Kami

  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Send this to a friend