Belum lama ini, jagat maya dihebohkan dengan kasus sekeluarga lompat dari lantai 22 apartment di Jakarta Utara. Faktor penyebabnya, diduga karena terlilit tagihan peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) yang membukit.
Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polisi Republik Indonesia (Polri) menunjukkan ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia dari Januari – 18 Oktober 2023. Entah apa faktor pasti yang mendorong hal demikian. Yang jelas, merajalelanya kasus bunuh diri menimbulkan beragam tanya dari berbagai pihak.
Sebagai negara dengan tingkat religiositas tinggi, terkesan janggal sebab justru Indonesia berada pada urutan ke-10 kasus bunuh diri dalam lingkup Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Seolah menghabisi diri sendiri telah dinormalisasi dalam ruang yang jelas-jelas tersurat pedoman religinya. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya regulasi agama yang terstruktur tidak menjamin mengikat masyarakatnya untuk berperilaku secara linear dan menghindari hal-hal yang berkontradiksi.
Namun, tentu tidak cukup hanya mengambil konklusi secara sekilas tanpa menelisik lebih jauh pada apa yang sebetulnya terjadi. Sebab hanya menjadikan mosi persoalan menjadi tidak utuh keberadaannya.
Melihat kasus bunuh diri tidak cukup hanya menilai dari satu sisi, seperti kurangnya iman, kurang mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Ada banyak hal secara luas yang dapat memicu, ketimbang hanya menilai secara sempit. Pun jika dikembalikan kepada masyarakat, akan ada banyak persepsi yang ditimbulkan. Stigma masyarakat yang kuat menjadikan kasus bunuh diri cukup tabu untuk diperbincangkan.
Padahal jika menilik dari kacamata berbeda, dorongan individu bertindak menghabisi diri sendiri dipicu oleh ketidakseimbangan dalam relasi sosial. Barangkali ini pula berkaitan dengan eksistensial seorang individu dalam suatu kelompok sosial terkhususnya dalam suatu situasi sosial. Ini tergambarkan dalam kelompok tentara Jepang pada saat Perang Dunia. Pada saat kondisi terdesak dan pikiran alam bawah sadar sudah tidak mampu berpikir secara rasional, maka disitulah keputusan bunuh diri bermula.
Sosiolog asal Prancis, Emile Durkheim (1917), menyatakan bahwa kematian akibat bunuh diri sebagai hasil dari tindakan positif dan negatif pelaku yang dengan sadar mengerti akibatnya. Bahwa pelaku yang melakukan tindakan bunuh diri sepenuhnya menyadari akan keputusannya melakukan itu.
Jika dikaji secara nalar, tentu tidak ada suatu individu pun yang ingin mendahului takdir bila tidak ada faktor pemicu eksternal yang menekan suatu individu. Setiap individu memiliki keinginan untuk dapat merasakan kenyamanan dan keamanan dalam situasi yang dimilikinya.
Apabila hilang rasa nyaman itu dalam lingkup ekosistemnya, maka tidak memungkiri hilang pula hasrat untuk mempertahankan diri dalam kelompok sosialnya.
Bagaimanapun juga, tindakan individu dalam bunuh diri bukan serta merta sebagai materi untuk dapat dihakimi tanpa mempertimbangkan hal lainnya. Sebab semuanya berkaitan dengan bagaimana kondisi sosial yang meliputi individu tersebut.
Eva Salsabila