Sejak kemunculannya di Wuhan, Cina, pada akhir tahun 2019, media gempar mewartakan virus yang berhasil menyebar di beberapa negara di Asia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dan mencegah penularannya. Namun, tak bisa dicegah, virus tersebut tetap berlayar dari satu negara ke negara lain.
Banyak hal yang dilakukan masyarakat Indonesia ketika kemunculan Corona virus Diesease (Covid-19). Ada yang bersikap bodo amat dan justru menjadikan virus tersebut sebagai bahan lelucon dan menganggap bahwa virus “sekecil” corona tidak akan bisa mewabah di Indonesia, namun ada juga yang bersikap sebaliknya.
Dalam waktu yang cukup lama, Indonesia memang dapat kebal dari virus corona. Namun, tanpa disadari, ada virus-virus lain yang ternyata sudah menyerang dan menjamur di Indonesia.
Pertama, virus paranoid. Masyarakat yang mulanya bersikap santai dan tidak menganggap serius corona, begitu virus corona masuk ke Indonesia, mereka berbondong-bondong menimbun perlengkapan medis dan sejumlah kebutuhan pokok.
Virus paranoid ini terus mengakar dan menjalar hingga menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Lebih parah, virus tersebut mampu memicu virus-virus lain seperti virus egoistis.
Dengan alasan “bisnis”, para kapitalis memborong bahan kebutuhan pokok dan menjualnya dengan harga lebih tinggi. Orang berlomba-lomba meraup keuntungan dan mengabaikan nasib orang yang lebih membutuhkan namun mengalami keterbatasan finansial. Istilahnya, mencari kesempatan dalam kesempitan; meraup keuntungan di tengah kebuntungan.
Seperti yang dilansir dalam nasional.kompas.com, terdapat beberapa oknum yang memanfaatkan situasi untuk mengais keuntungan. Salah satunya, terjadi di LTC Glodok, Tamansari, Jakarta Barat. Satu kotak berisi 50 masker yang biasanya seharga Rp 20.000,00 kini dibanderol Rp 500.000,00 per kotak. Selain itu, di salah satu toko alat kesehatan di Bekasi menjual hand sanitizer berukuran 500 ml dengan harga Rp 85.000,00 padahal harga normalnya Rp 25.000,00. Tentu hal itu sangatlah tidak wajar.
Yang terakhir adalah virus teror. Masyarakat Indonesia, khususnya pengguna media sosial, mudah sekali melakukan aksi teror dengan menyebar berita yang belum jelas kebenarannya dan dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dilansir dari www.detik.com, Kepala Biro Humas Kominfo menyampaikan terdapat 147 berita hoaks terkait corona per tanggal 2 Maret 2020. Beberapa di antaranya berita mengenai jamaah haji Indonesia yang ditolak Arab Saudi karena positif corona, informasi dari Kemenkes mengenai 6 kota zona kuning virus corona di Indonesia, dan masih banyak lagi.
Bahkan, ketika virus corona perdana masuk di Indonesia, korban diserang dengan isu negatif yang membuat mereka tersudut dan tertekan.
Akibat penyebaran berita hoaks dan pemberian stigma pada korban tersebut menyebabkan masyarakat ketakutan dan was-was dalam menjalani kehidupan.
Dalam portal online-nya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menegaskam bahwa pelaku penyebaran berita hoaks dapat dijatuhi hukum positif, yakni UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun, pada kenyataannya perilaku teror berkedok penyebaran informasi ini masih banyak ditemui di dunia maya.
Tiga virus tersebut memiliki dampak yang fatal. Jika terus dipelihara, maka dapat membunuh rasa simpati dan empati. Jika dibiarkan tetap berkembang, maka lambat laun masyarakat akan semakin tuli dan tidak lagi peduli pada sesama.
Penulis: Rizkyana Maghfiroh