Adanya perbedaan pendapat dalam pergaulan, organisasi, maupun antar anggota suatu instansi seringkali menimbulkan perdebatan yang melelahkan. Namun, tidak serta merta perdebatan tersebut bersifat substansial dan bahkan cenderung berangkat dari hal yang sepele.
Walaupun merupakan hal sepele, tetapi bisa menjadi perdebatan panjang lantaran pemahaman tentang berdebat itu tidak pada tempatnya, sehingga bisa menimbulkan konflik pribadi atau kelompok. Esensi berdebat pun bukan lagi didasarkan pada pencarian asas kebenaran, melainkan pembenaran atas irasionalitas yang sudah bersemayam di hati. Lain halnya jika perdebatan itu dipahami dalam konteks yang benar, maka dapat dipetik manfaat karena bisa menambah dan memperluas wawasan berpikir.
Misalnya saja, masalah hukum harus dibahas tuntas dari sudut hukum, dan masalah psikologi harus dibahas dari sudut psikologi juga. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan berlaku manakala ada kesepakatan yang mengatakan bahwa, masing-masing akan mengambil dari sudut pandang yang berbeda.
Kelompok pro akan melihat permasalahan dari sudut ilmu agama sedangkan yang kontra akan mengambil dari sudut pandang filsafat. Terlepas dari dua kelompok tadi, argumentasi yang dilontarkan juga harus berdasarkan pada rasio atau penalaran. Sehingga, akan menghasilkan perdebatan yang berkualitas pula.
Beda halnya ketika suatu perdebatan hanya berangkat dari permasalahan yang sepele tanpa menggunakan rasio yang matang. Akibatnya, urusan yang awalnya sepele ini, bisa saja merambah ke ranah yang lebih filosofis. Argumen yang dilontarkan pun, seringkali dibumbui dengan nalar logika yang salah dalam permainan kata-katanya.
Yang terjadi selanjutnya, situasi perdebatan menjadi tak terarah. Berbagai teori diperdebatkan dan menjadi senjata terampuh dalam menjatuhkan lawan bicara. Bahkan, tidak jarang perdebatan semacam ini berakhir pada kebencian dan permusuhan.
Sebenarnya, perihal permusuhan yang diakibatkan oleh perdebatan yang sepele ini, telah diceritakan oleh S. N. Ratmana (1936-2013) dalam sebuah cerpen berjudul “Kubur”. Ratmana menggambarkan bagaimana kemudian keutuhan sebuah keluarga, harus tercerai-berai hanya karena dua kubu yang berbeda pendapat gagal memahami bahwa, masalah yang mereka perdebatkan adalah masalah kecil dan memiliki banyak pendapat.
Jika sudah demikian, akankah kita perlu menggaungkan kembali perdebatan yang bahkan telah menjadi tradisi hari ini?
Penulis: Agus Salim