Siapa sih si jenius dari timur itu?
Dia adalah R.P.M Sosrokartono, kakak dari sang pelopor emansipasi wanita Indonesia, R.A Kartini, yang juga dikenal sebagai seorang jurnalis di The New York Heralde Tribune pada perang dunia pertama. Saat itu, julukannya yang sangat terkenal adalah “si jenius dari timur”, sebab ia mampu menguasai lebih dari 35 bahasa dan juga dikenal sebagai pengajar, dokter, dan ahli kebatinan.
Kelebihan tersebut tidak semua orang mampu memiliki. Sosrokartono, di zaman yang masih tradisional, tidak seperti sekarang, ia telah mampu melampaui ketidakmungkinan-ketidakmungkinan, menjadi sebuah kelebihan atau prestasi yang mana hal tersebut tentu dapat diambil hikmah dan pembelajaran oleh siapapun yang membaca tentang dirinya.
Salah satu pemikiranya yang masih relevan hingga saat ini adalah tentang persoalan agama dan budaya. R.P.M Sostrokartono mengatakan, dengan bahasa jawa, ingkang tansah kulo mantepi, agami kulo lan kejawen kulo. Ingkang bab kaleh puniko engkang kulo luhuraken, yang artinya; yang selalu saya mantapkan, agama saya kejawen saya. Kedua hal tersebut yang saya luhurkan.
Urgensi merawat warisan budaya
Perkembangan zaman yang sangat pesat telah mampu merubah segalanya, khususnya merubah apa yang kita pernah miliki, maksudnya di sini adalah warisan budaya. Hingga hal tersebut kini membuat orang sering menyebut zaman ini adalah zaman edan, karena harta berharga (warisan budaya) tersebut telah disia-siakan oleh pemiliknya sendiri (manusia Indonesia zaman sekarang).
Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota saja, bahkan sudah merabah ke pelbagai pelosok desa. Salah satu contohnya adalah “gotong royong”. Masyarakat yang sudah dimanjakan dengan teknologi informasi telah secara tidak sadar merubah pola pikir dan pola tindakan kita menjadi individual, yakni meninggal kebersamaan sosial.
Media sosial menjadi salah satu faktor begitu mudahnya mendapatkan informasi yang pada faktanya tak selamnya menjadi nilai positif, apalagi hal itu diterima oleh orang yang belum bisa menyikapi suatu persaoalan. Akibatnya, banyak masyarakat, khususnya generasi muda saat ini banyak meniru budaya Barat dan meninggalkan budaya lokal.
Pengaruh buruk yang sudah kita lihat saat ini adalah cara berpenampilan dan pergaulan. Dalam berpenampilan misalnya anak muda saat ini lebih suka yang serba terbuka, rok mini jeans, sobek-sobek, rambut pirang, telinga bertindik, dan lain-lain.
Dalam hal pergaulan anak muda saat ini seakan tak meiliki batas, norma budaya dan agama sudah tak di acuhkan lagi, terbukti dengan perilaku tersebut banyak ditemukan anak tanpa bapak, hamil di luar nikah, dan banyak gadis sudah tak perawan.
Di sini, nilai luhur yang menjadi warisan yang seharusnya kita jaga justru kita mengacuhkannya.
Keep culture Sosrokartono
Pesan dari R.P.M Sostrokartono dalam ungkapan jawanya yang disebutkan di atas, tampak kontekstual dengan apa yang terjadi sekarang, ia memberi sebuah teladan tentang menghargai nilai dan budaya. Bahkan dikisahkan ia selalu menggunakan pakaian lurik khas jawa.
Pelestarian budaya menjadi hal yang sangat penting, dikarnakan budaya adalah identitas suatu bangsa, ada ungkapan yang mengatakan bahwa siapa yang tak mengenal budayanya berarti ia tak mengenal bangsanya.
Jika kita melihat bahwa faktor terbesar dari lunturnya budaya lokal adalah salah satunya karena globalisasi, maka hal itu menjadi tugas kita bersama untuk tetap melestarikan warisan nilai-nilai budaya meski globalisasi tak bisa ditolak lagi. Begitu.
Penulis: Syamsul