Senin 6 Mei 2019, secara serentak umat Islam menjalankan puasa. Ibadah yang dijalani selama satu bulan penuh ini, selalu disambut dengan beragam cara oleh Muslim di pelbagai penjuru dunia. Hal itu memang erat kaitannya dengan dogma agama yang kurang lebih mengatakan, siapa saja yang senang menyambut datangnya Bulan Ramadhan, maka diharamkan neraka baginya.
Yang menjadi persoalan kini, bukan pada cara umat dalam menyambut bulan penuh berkah ini. Namun, bagaimana pemaknaan umat dalam menjalaninya.
Tak dapat dipungkiri–baik disadari atau tidak–umat Islam di Indonesia masih banyak yang salah mengartikan kedatangan Bulan Ramadhan.
Bulan yang seharusnya menjadi alat pengekang nafsu keduniawian justru sering seringkali diartikan sebagai ritual tahunan yang minim makna, kecuali mengubah jam makan, jam kerja dan jam istirahat. Tak sedikit pula yang mengartikan Ramadhan sebagai ajang untuk menghias rumah dan berburu tunjangan hari raya.
Ada juga yang menganggap bahwa Ramadhan hanya akan merugikan orang yang menjalaninya. Badan menjadi lemas karena tidak makan seharian. Bahkan, menganggap Ramadhan menjadi penyebab sepinya warung makan di siang hari dan beragam alasan konyol lain terlontar dari mulut mereka yang mengeluhkan Ramadhan.
Masyarakat dibuat lupa dengan esensi Ramadhan yang selama ini ramai dikumandangkan di masjid maupun musholla. Keberkahan Bulan Ramadhan pun seolah sirna dengan iming-iming lebaran yang sarat kesenangan. Hasilnya, masyarakat masih terlalu sibuk memikirkan urusan duniawi yang dirasa memiliki unsur penting dalam kehidupan.
Pemikiran kita masih terjerembab dalam rutinitas kosong bahwa Ramadhan adalah sesuatu yang datangnya rutin tiap tahun. Kerancuan berpikir semacam ini sebenarnya bermuara pada krisis penguasaan ilmu logika atau mantiq. Pernyataan dan pendapat tanpa menggunakan penalaran yang runtut kerap menghasilkan konklusi yang salah.
Ya, inilah yang harus dibenahi di sebagian tatanan masyarakat sekarang. Perspektif semacam ini harus diluruskan agar masyarakat tidak terjebak dalam kubangan kekeliruan.
Budaya konsumtif
Setiap Ramadhan tiba, seluruh umat Muslim melakukan puasa sebagaimana yang dianjurkan Allah SWT dalam Alquran. Namun, setiap Ramadhan pula mereka memamerkan gaya hidup konsumtif.
Misalnya saja, menjamurnya wisata kuliner menjelang berbuka puasa dan toko baju yang diiringi kebiasaan masyarakat membelanjakan uang yang tidak teratur. Hal ini tentu bersebarangan dengan makna Ramadhan itu sendiri.
Ramadhan yang seharusnya menjadi madrasah untuk melatih pengendalian diri, justru menjadi ladang budaya konsumtif yang terus berkembang. Masyarakat lebih disibukkan dengan pertukaran uang dan barang.
Perputaran uang dan barang pun menjadi tidak terkontrol. Hasilnya, banyak masyarakat yang kemudian sering menelantarkan apa yang telah mereka dapatkan. Tak ayal, mereka pun tak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Ironi memang. Di saat mereka yang kurang mampu membutuhkan uluran tangan, sebagian masyarakat justru menghamburkan harta yang mereka miliki.
Mengutip pernyataan Baudrillard, situasi masyarakat saat ini dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi. Pada kenyataannya, manusia tidak pernah terpuaskan akan kebutuhannya.
Lalu, di Ramadhan kali ini bagaimakah kita harus memaknai? Bulan pelegitimasian nafsu, atau bulan pengekang keinginan.
Penulis: Agus Salim