
Siapa yang tidak pernah merasakan cinta? Tentu, setiap orang pasti pernah merasakannya. Di kalangan kita menyebut itu dengan ungkapan jatuh cinta. Perasaan yang membuat seorang melayang karena saking cintanya. Tapi tidak sedikit juga cinta membuat jatuh, rapuh bahkan saking ekstremnya mampu membuat orang loncat dari gedung lantai empat.
Tentang cinta, Filsuf Erich Fromm dalam bukunya The Art Of Loving mencoba mengajak kita untuk berfikir kembali dalam memaknai cinta. Apa itu cinta? Apakah cinta itu aktif atau pasif? lebih baik mana mencintai atau dicintai?
Kebanyakan orang mendefinisikan cinta adalah rasa suka. Perasaan yang muncul tiba-tiba lalu menamainya jatuh cinta. Benarkah demikian? Pernyataan ini salah bagi Erich. Menurutnya cinta adalah seni karena butuh pemahaman dan praktek dalam melakukannya.
Untuk menjadi pribadi yang mencintai, fokuslah pada bagaimana cara mencintai yang baik. Jika kita sudah memutuskan untuk menjadi seorang pecinta, maka segala hal akan mudah untuk dicintai. Orang tidak akan pilih-pilih dalam urusan mencintai.
Untuk menumbuhkan rasa mencintai dalam diri seseorang, Fromm menjelaskan untuk menjadikan rasa cinta sebagai watak. Maksudnya, jadikanlah mencintai sebagai karakter, biasakan hal itu sehingga akan menjadi watak, karena watak menentukan takdir seseorang.
Cinta adalah suatu sikap, satu orientasi watak yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, tidak semata menuju satu ‘obyek cinta’. Jika seseorang hanya mencintai satu orang saja, dan tidak peduli terhadap yang lainnya, ini bukanlah cinta, namun ‘egoisme yang diperluas’.
Cinta sebenarnya tidak tergantung obyeknya. Orang yang mencintai hanya menunggu saat menemukan obyek yang tepat saja, ibarat orang yang mau melukis, namun ia tidak mau mempelajari seni lukis, hanya menunggu menemukan obyek yang bagus tepat untuk dilukis. Padahal jika ia memang ahli melukis, obyek apapun akan tampak bagus dan indah. Begitupun cinta. Jika kamu menjadi seorang pecinta, obyek apapun akan mudah untuk dicintai.
Erich Fromm juga menyatakan pentingnya cinta dalam kehidupan manusia. Kenapa? Karena cinta dibutuhkan untuk menjawab problem eksistensial manusia.
Problem keberadan kita di dunia, akan selalu ada masalah yang kita wajib hadapi di dunia ini. Seperti halnya problem kesepian, keterpisahan, ketidakberdayaan di hadapan kekuatan alam dan masyarakat, serta kesendirian.
Dalam menjawab problem-problem tersebut, ada dua solusi yang bisa dilakukan. Pertama, menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa, serta menyesuaikan dengan masyarakat. Kedua, bersatu dengan yang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama.
Hati hati dengan cinta yang belum matang, atau kesatuan simbiotik. Perasaan yang tak tertahankan Karena keterasingan dan keterpisahan, menyerahkan diri sepenuhnya menjadi bagian dari pribadi lain yang memimpinnya.
Cinta yang seperti ini masih belum bisa dikatakan matang, seperti pernyataan sebelumnya, Fromm menyebutnya dengan istilah simbiotik, yakni saling memanfaatkan.
Cinta yang matang adalah ketika yang dicintai dan yang mencintai saling mengutuhkan masing-masing, jadi satu tapi tetap dua, biar beda tapi tetap saling mengukuhkan. Itulah yang dinamakan cinta yang sudah matang.
Dengan semua pemahaman yang diberikan Fromm seharusnya bisa menjadi titik balik kita dalam hal cinta, khususnya masalah mencintai. Karena hakikatnya, cinta itu mencintai. Jangan jatuh dalam cinta, tapi dirikanlah cinta. Jadi jangan menuntut untuk dicintai, tapi jadilah pecinta dengan mencintai segala hal.
Cinta yang belum matang berprinsip, “aku cinta karena aku dicintai”
Cinta yang matang prinsip “aku dicintai karena aku cinta”
Demikian seni mencintai ala Erich Fromm “The Art Of Loving”
Penulis: M. Hasib