Di sebuah perkampungan, tepatnya di bawah jembatan kota, para warga sedang melakukan aktivitasya di depan rumah. Siput sedang memperbaiki jaringnya yang rusak. Sedang Jono santai di depan rumah sambil bermain ukulele. Topan baru selesai dari kerjanya sebagai supir, sedangkan Lek Pardi asyik dipijat oleh Sumi istrinya.
Begitulah awal kisah pementasan teater berjudul “Siput dan Rumahnya” oleh Komunitas Seni Kampus Wahana Aspirasi Dakwah dan Seni (KSK Wadas) yang diselenggarakan di Auditorium I Kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Selasa (23/12/2019).
Mengangkat tema kemanusiaan, naskah garapan Pepih Nurlelis ini disutradarai oleh Usma Amaliyach atau yang akrab disapa Tayo. Ratusan penonton yang hadir berasal dari komunitas teater dari Kudus, Semarang, dan Salatiga, alumni KSK Wadas, hingga mahasiswa umum pun hadir dan menyaksikan pementasan yang diselenggarakan dalam rangka studi pentas, perdana warga baru 2019.
“Astaga, monyet ngangkrem!” ucap Siput. Mereka sangat terkejut melihat segerombolan satpol PP datang mengepung, sehingga mereka berhenti melakukan aktivitasnya.
Sorot lampu yang mulanya terang tiba-tiba mati, suara rumah-rumah roboh serta atap yang berjatuhan memenuhi satu ruangan. Rintihan ibu-ibu menangis dan suara langkah kaki petugas yang membongkar paksa rumah membuat suasana makin pilu.
Satu menit kemudian, sorot lampu menyala, setting telah berubah. Tinggalah puing-puing rumah yang berantakan. Penggusuran telah terjadi, warga terluka, bukan cuma badannya, tapi juga hatinya. Bahkan Lek Pardi mulai gila, menghadapi kenyataan rumahnya yang telah digusur dan tidak memiliki apa-apa lagi.
Ki Demang sebagai petinggi desa menyarankan warganya agar mau berpindah ke rumah susun.
“Andai saja kalian mengikuti perintah saya dari awal, penggusuran ini tak akan terjadi,” ucap Ki Demang.
Siput bersikokoh tidak mau meninggalkan rumahnya karena rumah tersebut telah dihuninya selama belasan tahun dan telah menemaninya dalam suka maupun duka.
Jono, Kang Topan, dan beberapa warga mulanya sama seperti Siput, memilih menetap dan mengumpulkan puing-puing rumahnya yang telah hancur. Namun itu semua sia-sia. Mereka akhirnya mau mengikuti pemerintah untuk tinggal di rumah susun.
“Tinggalah kamu disini hingga menjadi bangkai.” kata Topan kepada Siput.
Pada akhir pementasan, Siput akhirnya benar-benar sendiri karena ditinggal semua warga. Seperti Tambakrejo yang akhirnya ditinggalkan penghuninya berpindah ke rusun di daerah Kalimati.
Dalam pentas tersebut dikisahkan bahwa penggusuran dilakukan pemerintah karena ingin menyelamatkan warganya dari dampak yang terjadi karena banjir, meskipun dampak tersebut belum melanda daerah yang dihuni Siput dan tetangga-tengganya tersebut.
Saat bincang naskah usai pentas, Tayo mengaku mengambil tema kemanusiaan karena melihat polemik penggusuran di Tambakrejo Semarang pada bulan Mei lalu.
“Terinspirasi dari penggusuran Tambakrejo yang sampai sekarang belum selesai, dan melihat ada beberapa warganya yang sampai sekarang masih memilih untuk tidak meninggalkan rumahnya,” ucap Tayo.
Pentas teater garapan KSK Wadas tersebut digarap dalam waktu satu bulan, meskipun digarap dalam waktu singkat, pentas tersebut telah berhasil membuat penonton melek sejak awal pementasan hingga akhir pementasan.
“Kami tidak memihak pada pemerintah maupun warga, kami hanya memperlihatkan sisi kemanusiaan pada korban saat mengalami penggusuran,” tandas Tayo.
Reporter: Nafiatul Ulum
Editor: Rima Dian P