Amanat.id – Sastrawan Indonesia, Ahmad Tohari dan tokoh seni pilihan tempo 2015, Tritanto Triwikromo hadir sebagai pembicara dalam acara Launching dan Dialog Sastra yang diadakan Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, Kamis (6/12/2018).
Acara yang bertempat di Auditorium I Lantai 1, Kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang tersebut dibuka dengan peluncuran majalah sastra Soeket teki dan Aplikasi SKM Amanat oleh Wakil Rektor III, Suparman Syukur.
Pada awal Dialog, Ahmad Tohari mengatakan bahwa semua orang bisa menjadi sasrtrawan apabila mau berproses.
“Prosesnya itu dimulai dari menyakini sastra itu penting, kemudian kegiatan membaca, menambah bacaan sastra, berdiskusi, dan terus menulis,” tuturnya.
Menurutnya, proses seseorang menjadi sastrawan itu melalui tahapan tahapan yang tidak instan, seorang sastrawan harus memahami proses – prosesnya mulai dari hal dasar dengan menyadari bahwa sastra itu penting.
“Yang dasar yaitu bahwa sastra itu penting, baik untuk kehidupan sosial, untuk peradaban dan yang terpenting untuk bangsa itu sendiri” kata penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu.
Ia menjelaskan tahapan setelah menyadari pentingnya sastra, Ia menyarankan untuk sering membaca karena seorang pembaca yang baik akan merepresentasikan sebagai penulis yang baik
“Ya kalau malas membaca harapannya kecil, semakin banyak bahan yang dibaca membaca akan berpengaruh pada tulisan anda,” tambahnya.
Proses selanjutnya yang ia sarankan adalah sering berdiskusi setelah itu menambah bahan bacaan dan mulailah mencoba untuk terus menulis .
Ia menghimbau sikap yang harus sastrawan miliki adalah jangan mudah puas diri karena merasa puas diri akan menjadi racun yang tidak baik bagi sastrawan.
“Kalau mudah berpuas diri itu racun, kalian harus hindari itu,” himbaunya.
Menurut Tohari sastra Indonesia jika dilihat dari jumlah karya dan penulisnya disetiap daerah pasti ada sastrawan, jadi tidak perlu khawatir.
“Perkara belum mendapat kesempatan melejit, itu masalah lain. Intinya sastrawan Indonesia sudah ada di mana-mana,” ungkap pria yang akrab dengan sapaan ‘Kang’ itu.
Diakhir pembicaran pria yang pernah menjabat sebagai redaktur harian merdeka menambahkan, sastrawan itu hanya bisa ada apabila dengan menggunakan bahasa sebagai wahana.
“Sebab jika tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, bagaimana mungkin menjadi seorang penulis yang dibutuhkan. Karena sajian kebahasaan sangat di butuhkan pada sastrawan.” tambahnya.
Lebih lanjut, di akhir pembicaraanya ia berpesan kepada para peserta dialog untuk terus melakkukan proses tersebut seperti membaca, berdiskusi lalu menulisnya.
“Usia kalian kan masih 20 tahunan, itu langkah dini kalian untuk menjadi sastrawan, bayangkan usia saya sudah 71 tahun, sudah banyak hambatan. Saya pusing kalu lama-lama di depan monitor, kalau nulis malam saya harus sering sering ke kamar kecil untuk kencing,“ pesannya.
Hal ini di ungkapkan juga oleh Triyanto Triwikromo sebagai pembicara kedua, bahwa krisis bukan pada kesusastraan Indonesia tetapi kesusastraan masyarakat Indonesia.
“Karena bahasa Indonesia sekarang sudah terkikis dengan bahasa internet yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat Indonesia.” katanya.
Reporter: Nur Ainun L, Ibnu A.