Driminasi terhadap penganut agama (kepercayaan) lokal Indonesia, seringkali masih terjadi. Agama lokal adalah agama asli orang Indonesia, sebelum kemunculan agama baru atau pendatang. Beberapa agama lokal memang, dalam sejarahnya sudah ada sebelum Hindu dan Budha, Islam dan lainnya.
Namun pemerintah menganggap keberadaan mereka bukanlah sebuah agama, tapi kepercayaan.
Beberapa kepercayaan asli Indonesia diantaranya Sapto Dharmo di Yogjakarta, Sunda Wiwitan dan Buhun dianut oleh masyarakat Sunda, Tolotang di wilayah Sulawesi Selatan, Kejawen dianut oleh masyarakat Jawa , Marapu dari Sumba, Kaharingan dari Kalimantan, Ugamo Malimasi asli dari suku Batak, Naurus bersal dari Pulau seram Maluku, Madrais (Djawa Sunda) yang menyebar di Jawa Barat merupakan segelintir dari banyaknya agama yang terpinggirkan dari negara sendiri.
Kepercayaan lokal ini, membentuk ciri kelompoknya sebagai praktek menanggapi hal-hal yang sakral. Meskipun kepercayaan lokal memang cukup sulit untuk diketahui jejaknya, namun dapat dikatakan bahwa ia berawal dari sekelompok manusia yang memiliki pandangan yang sama atas aspek yang dianggap sacral (Suhanah,2014)
Tetapi keberadaanya di Indonesia, masih cenderung mendapat perlakuan diskriminasi dari kelompok mayoritas. Dibuktikan dengan kasus yang terjadi pada beberapa tahun ke belakang.
Tahun 2018 lalu, Kompas.com pernah memberitakan seorang penganut Sunda Wiwitan dipersulit proses pemakamannya. Pasalnya jenazah itu akan dimakamkan di tanah kelahirannya, Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Namun saat menuju pemakaman, ambulance dihadang tokoh muslim setempat. Jenazah dilarang dimakamkan di pemakaman orang muslim. Akhirnya jalan tengah pun diambil, jenazah boleh dimakamkan, dengan syarat jenazah di Islamkan terlebih dahulu, kemudian jenazah diurus pemakamannya sesuai ajaran agama Islam.
Kemudian ada pula pengalaman dari Boonie Nugraha Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Kota Bandung , yang baru bisa mencantumkan Agama kepercayaannya, selama kurang lebih 15 tahun lamanya. Rentang waktu itu, ia tidak bisa mencantumkan kepercayaan yang diikuti, dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk, sebagaimana dikutip dari Tirto.id (28/02/2019).
Kasus tersebut kemudian menjadi gambaran, jika sebagian masyarakat kita, belum mampu bersikap dewasa ketika dihadapkan dalam sebuah perbedaan. Hingga terkadang terlihat kaum mayoritas cenderung mengeklaim kebenarannya sendiri, tanpa mempertimbangkan sisi ruang kemanusiaan.
Bahkan, seringkali kita temui diskriminasi yang terjadi hingga berujung pada timbulnya kekerasan kadang diatasnamakan klaim sebuah kebenaran agama yang diikuti. Sampai-sampai melupakan sisi kemanusiaannya.
Penulis sedikit teringat ungkapan Gus Dur, bahwa agama tidak bisa jauh-jauh dari kemanusiaan. Sebab memang benar adanya bahwa setiap agama atau kepercayaan pada dasarnya tidak ada yang mengajarkan kekerasan. Namun lebih pada sikap cinta kasih pada sesama.
Bukan hanya itu, lazim kita ketahui Pancasila dijadikan sebagai landasan dalam kehidupan bernegara, ditengah perbedaan dan keberagaman masyarakat Indonesia. Dengan harapan kedamaian dapat terwujud.
Lantas, jika masih hobi memelihara sifat diskriminasi dalam diri, masih pantaskah kita menganut dasar atau nilai-nilai pancasila?
Penulis: Fatimah