Libur panjang selama hampir dua bulan di UIN Walisongo tentu bukan waktu yang singkat. Tidak mungkin bukan, kita habiskan waktu selama itu hanya untuk piknik atau kerja saja?
Sebagai anak muda yang punya gelar mahasiswa, kita harus mengembangkan pengetahuan dan memperluas wawasan. Waktu seperti sekarang, hal itu bisa dilakukan dengan bebas tanpa adanya tekanan akademik dan tugas kuliah yang mengganggu. Hehe…..
Membaca merupakan jawaban atas semua itu. Banyak hal bisa kita baca. Lingkungan, keagamaan, Indonesia dll. Untuk itu, tentu kita butuh bahan bacaan terlebih dahulu, yang bisa diambil dari buku, agar pembacaan kita lebih kritis.
Membaca buku merupakan kegiatan yang bisa dilakukan kapan saja, dan di mana saja. Selain untuk meningkatkan daya imajinasi dan menjaga wawasan intelektual. Sebagai mahasiswa, membaca buku bisa menjadi salah satu cara membunuh kebosanan saat libur datang.
Membaca buku sangat banyak manfaatnya. segala jenis buku juga tentunya menyenangkan. Namun, kali ini Amanat.id memilih merekomendasikan tiga buku, lantaran ketiganya ini dapat merefleksikan gelar mahasiswa yang hari ini semakin disorientasi.
1. Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer
Tetralogi Buru adalah nama untuk empat novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988. Tetralogi Buru ini mengungkapkan sejarah keterbentukan Nasionalisme pada awal kebangkitan organisasi gerakan modern di Indonesia.
Pramoedya, terinspirasi dari tokoh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang di dalam bukunya digambarkan sebagai Minke, anak muda terpelajar dengan perjuangan mengobati masyarakatnya yang sakit, lantaran telah terjajah ratusan tahun.
Empat judul buku tersebut adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Buku-buku karangan Pram ini merupakan salah satu karya sastra terbaik yang dimiliki Indonesia dan diakui dunia.
Meskipun buku ini tergolong bacaan berat, namun pemilihan diksi yang digunakan Pram tidak terlalu sulit dipahami oleh pelbagai kalangan.
Buku ini sangat wajib dibaca oleh anak muda masa kini, permasalahan yang sangat kompleks mulai dari dimensi politik, budaya, penjajahan, sosial, romance, pendidikan, semuanya tersaji dalam tetralogi buru karya Pramoedya Ananta Toer.
Tetralogi pertama, Bumi Manusia saat ini akan di filmkan, disutradai oleh Hanung Brahmantyo dan akan rilis pada awal tahun 2019 ini. Jadi, alangkah lebih asyiknya jika saat kamu menonton film Bumi Manusia nanti, terlebih dahulu kamu sudah baca bukunya.
2. Catatan Seorang Demonstran
Buku kedua yang rekomended untuk mengisi liburan kamu adalah Catatan Seorang Demonstran oleh Soe Hok Gie.
Buku yang terbit pertama kali pada 1983 ini menceritakan sosok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia keturunan Tionghoa, pada masa pergantian orde lama ke orde baru.
Melalui buku ini, kamu akan tahu bahwa pada masa itu, terjadi pergolakan besar – besaran di Indonesia. Gie menjadi tokoh yang ikut memberikan andil dalam perubahan untuk menurunkan Soekarno dari tampuk pemerintahan. Namun, selepas Soekarno turun dan digantikan Soeharta, kritik-kritik tajamnya pun tak kunjung padam. Bahkan, ia salah satu pemuda yang paling berani kala itu, di tengah ketakutan masyarakat akan Orde Baru.
Selain itu, kekagumannya pada alam dan kegemarannya menaiki gunung menjadikan pribadinya semakin tangguh. Di puncak gunung juga salah satu pendiri Mapala UI ini menghadap penciptanya di usia muda. di tengah kabut tebal puncak Gunung Semeru, sehari sebelum ulang tahun Gie ke-27, Gie dan sahabatnya meninggal karena menghirup gas beracun.
Buku catatan harian yang syarat konflik tersebut dirangkum dalam buku berjudul “Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran” terbitan LP3ES.
Buku ini sangat menarik dan menimbulkan rasa penasaran untuk dibaca, dengan kata kata yang mudah di pahami dan menarik kita untuk membayangkan kehidupan pada saat itu. Buku Gie pun telah di film-kan dengan judul yang sama pada tahun 2005, diperankan oleh Nicholas Saputra.
3. Pergolakan Pemikiran Islam
Sama halnya dengan buku “Catatan Seorang Demonstran” buku ini juga merupakan buku yang diambil dari catatan harian Ahmad Wahib. Perbedaan kedua tokoh ini adalah, jika Soe Hok Gie nasionalisme murni, maka Ahmad Wahib adalah seorang nasionalisme religius.
Ahmad Wahib adalah wartawan sekaligus aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang telah menyumbangkan banyak pemikirannya tentang Islam maupun tentang HMI. Walupun ia pada akhirnya terbuang dari organisasi yang dicintainya itu.
Membaca buku ini kita seperti masuk dalam ruang kegelisahan Ahmad Wahib. Sebuah buka yang bukan hanya menyentil namun juga mendobrak dogma-dogma agama yang selama ini tidak kita pertanyakan kembali.
Ia adalah anak muda yang gelisah akan realitas sosial, dan Islam yang dipeluknya sejak kecil. Dalam tiap lembar buku ini, berisi catatan-catatan harian Ahmad Wahib sejak tahun 1969-1973. Begitu terasa, betapa pergolakan dalam pikiran Ahmad Wahib kala itu sangat dahsyat.
Nah, itulah ketiga buku yang diromendasikan untuk menemani kamu saat liburan. Ketiganya sudah banyak tersedia di internet. Hanya tinggal unduh saja.
Penulis: Rima DP